NAYANIKA NASRUL (part 3, end)

Surai cokelat legam itu berterbangan kesana kemari kala angin kencang sedang tertiup, namun tak membuat sang empu bergerak sedikit pun.

Mata teduhnya sibuk menatap ayunan yang bergoyang, karena dinaiki seseorang tentunya. Bibirnya pun membentuk lekukan keatas, menandakan bahwa dirinya sedang bahagia.

“Kenalin, aku Wid—Widya.” entah dari kapan gadis yang tadi bermain di ayunan itu telah berdiri di hadapannya sembari menjulurkan lengan.

“Aku gak ngajak kamu kenalan.” sahut lelaki itu, senyumannya memudar.

Widya mengerutkan dahinya, “Emang bukan kamu yang ngajak kenalan, tapi aku.” gadis itu terlihat sangat bahagia, bisa dilihat dari deretan gigi rapihnya yang terlihat sekarang. “Kamu galak, pantas gak punya teman.” ucapnya yang sekarang sudah duduk di samping lelaki itu.

“Kamu Nasrul ya? Kata tetanggaku, kamu ini tampan tapi sayangnya kamu gak ramah.” ia menghela nafasnya kasar, “Nasrul, kamu ini masih muda, sayang kalau kehidupan panjang kamu dihabisi dengan cara yang membosankan.”

Nasrul, kamu ingat tidak saat pertama kali kita bertemu, saat dimana angin-angin yang tak tahu diri itu menari dengan baiknya sampai kamu terlihat begitu menawan dengan rambut yang berterbangan?

Sampai akhirnya, aku dan kamu menjadi teman yang sangat baik. Kamu mulai memperlihatkan senyuman indahmu dikit demi sedikit, mata teduhmu yang selalu menjadi pemandangan terindah disaat kehidupanku sedang gemuruh.

Sampai saat ini aku masih benar-benar marah. Kenapa kamu bisa menjadi orang yang begitu kuat? Kamu selalu berperan sebagai manusia yang tidak pernah menopang beban, walaupun sebenarnya pundakmu itu sudah berat ya, Na?

“Gimana aku bisa sedih kalau kamu selalu ada di hadapan aku, Widya?”

Lalu bagaimana dengan aku, Na? Kamu selalu ada di hadapanku tapi aku selalu saja menangis. Bahkan saat aku menangis karena kamu tertidur dengan lelap pun, kamu masih saja bisa tersenyum dengan indahnya. Saat kamu kehilangan helai demi helai rambutmu yang selalu menjadi kesukaanku, saat kakimu menjadi sangat lemah, saat kamu harus selalu memakai selang oksigen untuk membantumu bernafas, saat kamu tidak bisa mencicipi rasa makanan-makanan kesukaanmu lagi pun, kamu masih tersenyum, Na..

Aku iri sampai pada akhirnya aku melihatmu meraung di kamar rumah sakitmu pada tengah malam. Mata indahmu pun memperlihatkan tatapan kosong.

“Sakit, Ma..”

...

“Sakit, tolong Nasrul.”

Maaf, Na. Aku memang gadis bodoh yang tidak bisa merasakan topangan hidupmu yang sebentar lagi akan ambruk. Aku tidak bisa membantu bebanmu seperti saat kamu memberiku tali kehidupan agar aku tidak jatuh terlalu dalam.

Na, kamu sangat baik. Terima kasih karena disaat kamu hampir menutup mata untuk selamanya, kamu masih mengembangkan senyuman yang selalu menjadi kesukaanku sampai kapan pun.

Sebenarnya, Na.. ada satu hal yang selalu menjadi hal kesukaanku, lebih dari rasa suka dengan rambutmu ataupun senyumanmu yang selalu ku puji-puji dari dulu.

Aku menyukai nayanikamu, Na.

Tapi, sekarang hal yang paling aku sukai itu sudah tertutup rapat dan tak ada kemungkinan aku untuk membukanya.

Na, terima kasih. Kamu adalah seseorang yang memiliki nirmala. Aku selalu menyukaimu, sampai kapanpun, walaupun hal yang kusukai satu persatu akan hilang lenyap dimakan oleh takdir yang menyedihkan;

dan kini, dirimu mendeskripsikan namamu untukku, Nasrul—jauh.

Sangat jauh..

—Surat dari Widya, di peringatan kematian Nasrul.

13 Agustus 2020,
tentang Nasrul Janendra, nirmalaku.

 


#intanratu

 

Nayanika.
(n.) mata yang indah dan memancarkan daya tarik.

Nirmala.
(n.) tanpa cacat, sempurna.

Komentar