Surai cokelat legam itu berterbangan kesana kemari kala angin kencang sedang tertiup, namun tak membuat sang empu bergerak sedikit pun.
Mata teduhnya sibuk menatap ayunan
yang bergoyang, karena dinaiki seseorang tentunya. Bibirnya pun membentuk
lekukan keatas, menandakan bahwa dirinya sedang bahagia.
“Kenalin, aku Wid—Widya.” entah dari
kapan gadis yang tadi bermain di ayunan itu telah berdiri di hadapannya sembari
menjulurkan lengan.
“Aku gak ngajak kamu kenalan.” sahut
lelaki itu, senyumannya memudar.
Widya mengerutkan dahinya, “Emang
bukan kamu yang ngajak kenalan, tapi aku.” gadis itu terlihat sangat bahagia,
bisa dilihat dari deretan gigi rapihnya yang terlihat sekarang. “Kamu galak,
pantas gak punya teman.” ucapnya yang sekarang sudah duduk di samping lelaki
itu.
“Kamu Nasrul ya? Kata tetanggaku,
kamu ini tampan tapi sayangnya kamu gak ramah.” ia menghela nafasnya kasar,
“Nasrul, kamu ini masih muda, sayang kalau kehidupan panjang kamu dihabisi
dengan cara yang membosankan.”
Nasrul, kamu ingat tidak saat
pertama kali kita bertemu, saat dimana angin-angin yang tak tahu diri itu
menari dengan baiknya sampai kamu terlihat begitu menawan dengan rambut yang
berterbangan?
Sampai akhirnya, aku dan kamu
menjadi teman yang sangat baik. Kamu mulai memperlihatkan senyuman indahmu
dikit demi sedikit, mata teduhmu yang selalu menjadi pemandangan terindah disaat
kehidupanku sedang gemuruh.
Sampai saat ini aku masih
benar-benar marah. Kenapa kamu bisa menjadi orang yang begitu kuat? Kamu selalu
berperan sebagai manusia yang tidak pernah menopang beban, walaupun sebenarnya
pundakmu itu sudah berat ya, Na?
“Gimana aku bisa sedih kalau kamu
selalu ada di hadapan aku, Widya?”
Lalu bagaimana dengan aku, Na? Kamu
selalu ada di hadapanku tapi aku selalu saja menangis. Bahkan saat aku menangis
karena kamu tertidur dengan lelap pun, kamu masih saja bisa tersenyum dengan
indahnya. Saat kamu kehilangan helai demi helai rambutmu yang selalu menjadi
kesukaanku, saat kakimu menjadi sangat lemah, saat kamu harus selalu memakai
selang oksigen untuk membantumu bernafas, saat kamu tidak bisa mencicipi rasa
makanan-makanan kesukaanmu lagi pun, kamu masih tersenyum, Na..
Aku iri sampai pada akhirnya aku
melihatmu meraung di kamar rumah sakitmu pada tengah malam. Mata indahmu pun
memperlihatkan tatapan kosong.
“Sakit, Ma..”
...
“Sakit, tolong Nasrul.”
Maaf, Na. Aku memang gadis bodoh
yang tidak bisa merasakan topangan hidupmu yang sebentar lagi akan ambruk. Aku
tidak bisa membantu bebanmu seperti saat kamu memberiku tali kehidupan agar aku
tidak jatuh terlalu dalam.
Na, kamu sangat baik. Terima kasih
karena disaat kamu hampir menutup mata untuk selamanya, kamu masih
mengembangkan senyuman yang selalu menjadi kesukaanku sampai kapan pun.
Sebenarnya, Na.. ada satu hal yang
selalu menjadi hal kesukaanku, lebih dari rasa suka dengan rambutmu ataupun
senyumanmu yang selalu ku puji-puji dari dulu.
Aku menyukai nayanikamu, Na.
Tapi, sekarang hal yang paling aku
sukai itu sudah tertutup rapat dan tak ada kemungkinan aku untuk membukanya.
Na, terima kasih. Kamu adalah
seseorang yang memiliki nirmala. Aku selalu menyukaimu, sampai kapanpun,
walaupun hal yang kusukai satu persatu akan hilang lenyap dimakan oleh takdir
yang menyedihkan;
dan kini, dirimu mendeskripsikan
namamu untukku, Nasrul—jauh.
Sangat jauh..
—Surat dari Widya, di peringatan kematian
Nasrul.
13 Agustus 2020,
tentang Nasrul Janendra, nirmalaku.
Nayanika.
(n.) mata yang indah dan memancarkan daya tarik.
Nirmala.
(n.) tanpa cacat, sempurna.
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih sudah visit di blog Intan, silahkan beri kritik dan saran dengan sopan.