NASRUL, BISA DENGARKAN AKU? (part 1)

Menggelikan saat kamu menantang Jakarta dalam pacuan kesibukan, Nasrul.

Riuhnya ribuan percakapan di kota kesibukan, manisnya kelabu saat petang, cantiknya angan yang melekat dalam tipuan, itulah Kota Jakarta. Jauh sangat terpikat, dekat sangat lekat.

Menurutku Nasrul—lelakiku ini bagaikan Kota Jakarta. Terus menciptakan segala cuatan, terus mengangguk saat pintu kerja mendesak, terus bergulir dalam keringat air mata. Seseorang yang diimpikan semua gadis, ia merupakan pekerja keras, kuakui hal itu.

Pagi buta melenguh, tetapi dengan sigap terbangun. Petang merintih, karena sandiwara pengusaha-pengusaha tengik. Malam tertidur, memimpikan cita-cita yang tak juga terbeli.

Peluh risau terselip, kedua manik indah yang telah sayu menjadi gurauan yang tak bisa aku tertawakan. Ingin saja aku bertanya terus terang, "Inginmu itu apa, Nasrul?”

Terlalu sering mengarahkan tanya, tetapi jawabnya tetap sama. "Hidup." katanya.

Kebisingan suara kendaraan yang selalu melintas di jalan Kota Jakarta bisa menjadi alat hirauanku pada omong kosong yang dikeluarkan dari bibir lelaki itu. Nasrul selalu mencaci, katanya hidupnya tak adil. Katanya hidup mempunyai rencana yang tak asik. Aku mencebik dan sekali lagi menghiraukan uraian kata yang dikatakannya itu.

Tersadar bahwa kuhiraukan segala perkataannya, dia malah mengulurkan telapak tangannya di kepalaku, mengusak pelan setiap helai rambut hitamku.

"Jangan marah, aku hanya ingin berusaha lebih lagi." Lirihan Nasrul membantuku kembali menatapnya. Lekungan bibirnya terukir ke atas. "Maaf, ya?" lirih Nasrul kembali.

Aku menggelengkan kepalaku dan berucap tegas. "Tetapi sampai kapan? Semesta menginginkanmu untuk menjadi manusia sebenarnya, Nasrul."

"Tetapi aku manu—"

"Kau robot. Terus melangkah egois demi tercapainya mimpi yang kamu inginkan. Kau mengabaikan segala pesona yang tercipta di sekelilingmu, Nasrul."

Nasrul menghilangkan senyumnya, meraup udara dengan kasar untuk menghilangkan segala amarahnya. "Aku hanya ingin merubah diriku. Dulu aku pengecut—"

"Iya, aku tahu Nasrul! Tapi apa harus menyiksa dirimu sendiri demi ketidakpuasanmu kepada dunia? Sadarlah! Jika kau terus merasa kurang, artinya kau sudah terlalu memaksakan kehendak. Aku mohon Nasrul, jika ingin terus bekerja keras dengan caramu, tolong jangan abaikan dirimu sendiri."

Aku menatapnya dengan keputusasaan. Menjahit kata pahit dalam rangkuman kisah yang baru saja berjalan. Nasrul saat ini terus menghembuskan napas beratnya, menyigar rambutnya gusar, iris kedua matanya juga seakan menghindar dari kenyataan yang aku ucapkan.

"Nasrul?"

Kelopak mata indah Nasrul yang sebelumnya terpejam, kini terkulai lemah. Memandangku dengan alunan asa yang sudah menyerah karena kedustaannya kepada diri sendiri.

Menatapnya dengan kesungguhan, aku berucap. "Jangan seperti Jakarta, membiarkan kesibukannya menjadi ciri khas yang dibanggakan. Ingat, kamu itu bukanlah Jakarta, karena kamu hanyalah manusia biasa yang bisa lelah akan keadaan dunia."

Akhirnya, lekungan senyuman lemah itu terlintas di wajah tampan Nasrul. Dengan ketulusan yang tersirat, aku ikut menunjukkan senyumku kepadanya.

"Maaf, aku telah menipu kamu dan dunia begitu lama," gumam Nasrul. "Aku hanya tak tahu harus menjadi manusia, karena saat dahulu, aku tak pernah merasa dianggap menjadi manusia. Terima kasih banyak, Widya."



#intanratu


Komentar

  1. Enother alternative universe from ka intan, whyy?! Knp ceritanya sedalem itu, knp maknanya sedalem itu setiap aku baca karya kaka😔

    BalasHapus
    Balasan
    1. Jiheee thanks udah kasi feedback disini jugaaa🥺❤️❤️❤️

      Hapus

Posting Komentar

Terima kasih sudah visit di blog Intan, silahkan beri kritik dan saran dengan sopan.