Menggelikan saat kamu menantang Jakarta dalam pacuan kesibukan, Nasrul.
Riuhnya ribuan percakapan di kota
kesibukan, manisnya kelabu saat petang, cantiknya angan yang melekat dalam
tipuan, itulah Kota Jakarta. Jauh sangat terpikat, dekat sangat lekat.
Menurutku Nasrul—lelakiku ini
bagaikan Kota Jakarta. Terus menciptakan segala cuatan, terus mengangguk saat
pintu kerja mendesak, terus bergulir dalam keringat air mata. Seseorang yang
diimpikan semua gadis, ia merupakan pekerja keras, kuakui hal itu.
Pagi buta melenguh, tetapi dengan
sigap terbangun. Petang merintih, karena sandiwara pengusaha-pengusaha tengik.
Malam tertidur, memimpikan cita-cita yang tak juga terbeli.
Peluh risau terselip, kedua manik
indah yang telah sayu menjadi gurauan yang tak bisa aku tertawakan. Ingin saja
aku bertanya terus terang, "Inginmu itu apa, Nasrul?”
Terlalu sering mengarahkan tanya,
tetapi jawabnya tetap sama. "Hidup." katanya.
Kebisingan suara kendaraan yang
selalu melintas di jalan Kota Jakarta bisa menjadi alat hirauanku pada omong
kosong yang dikeluarkan dari bibir lelaki itu. Nasrul selalu mencaci, katanya
hidupnya tak adil. Katanya hidup mempunyai rencana yang tak asik. Aku mencebik
dan sekali lagi menghiraukan uraian kata yang dikatakannya itu.
Tersadar bahwa kuhiraukan segala
perkataannya, dia malah mengulurkan telapak tangannya di kepalaku, mengusak pelan
setiap helai rambut hitamku.
"Jangan marah, aku hanya ingin
berusaha lebih lagi." Lirihan Nasrul membantuku kembali menatapnya.
Lekungan bibirnya terukir ke atas. "Maaf, ya?" lirih Nasrul kembali.
Aku menggelengkan kepalaku dan
berucap tegas. "Tetapi sampai kapan? Semesta menginginkanmu untuk menjadi
manusia sebenarnya, Nasrul."
"Tetapi aku manu—"
"Kau robot. Terus melangkah
egois demi tercapainya mimpi yang kamu inginkan. Kau mengabaikan segala pesona
yang tercipta di sekelilingmu, Nasrul."
Nasrul menghilangkan senyumnya,
meraup udara dengan kasar untuk menghilangkan segala amarahnya. "Aku hanya
ingin merubah diriku. Dulu aku pengecut—"
"Iya, aku tahu Nasrul! Tapi apa
harus menyiksa dirimu sendiri demi ketidakpuasanmu kepada dunia? Sadarlah! Jika
kau terus merasa kurang, artinya kau sudah terlalu memaksakan kehendak. Aku
mohon Nasrul, jika ingin terus bekerja keras dengan caramu, tolong jangan
abaikan dirimu sendiri."
Aku menatapnya dengan keputusasaan.
Menjahit kata pahit dalam rangkuman kisah yang baru saja berjalan. Nasrul saat
ini terus menghembuskan napas beratnya, menyigar rambutnya gusar, iris kedua
matanya juga seakan menghindar dari kenyataan yang aku ucapkan.
"Nasrul?"
Kelopak mata indah Nasrul yang
sebelumnya terpejam, kini terkulai lemah. Memandangku dengan alunan asa yang
sudah menyerah karena kedustaannya kepada diri sendiri.
Menatapnya dengan kesungguhan, aku
berucap. "Jangan seperti Jakarta, membiarkan kesibukannya menjadi ciri
khas yang dibanggakan. Ingat, kamu itu bukanlah Jakarta, karena kamu hanyalah
manusia biasa yang bisa lelah akan keadaan dunia."
Akhirnya, lekungan senyuman lemah itu
terlintas di wajah tampan Nasrul. Dengan ketulusan yang tersirat, aku ikut menunjukkan
senyumku kepadanya.
"Maaf, aku telah menipu kamu dan
dunia begitu lama," gumam Nasrul. "Aku hanya tak tahu harus menjadi
manusia, karena saat dahulu, aku tak pernah merasa dianggap menjadi manusia.
Terima kasih banyak, Widya."
Enother alternative universe from ka intan, whyy?! Knp ceritanya sedalem itu, knp maknanya sedalem itu setiap aku baca karya kaka😔
BalasHapusJiheee thanks udah kasi feedback disini jugaaa🥺❤️❤️❤️
Hapus